Perlukah Mengganti Makanan Pokok dengan Shirataki?

Sumber gambar: Freepik

Shirataki dalam bentuk beras atau mi banyak digemari oleh individu yang melakukan diet defisit kalori dengan tujuan menurunkan berat badan karena diklaim mampu membantu penurunan berat badan lebih cepat. Apakah klaim tersebut benar sehingga konsumsi shirataki seakan menjadi kewajiban ketika sedang diet defisit kalori? Simak ulasan dari tim Dietela pada artikel ini.

Seperti yang sudah dijelaskan pada artikel shirataki, si populer untuk diet sebelumnya bahwa shirataki terbuat dari Konjac Glucomanan (KGM) yang memang ketika dibandingkan dengan beras merah, beras cokelat dan mi kuning atau mi yang berbahan dasar tepung gandum maka kandungan kalori, lemak dan karbohidrat pada shirataki menjadi jauh lebih rendah sehingga masuk akal kalau klaimnya dapat membantu menurunkan berat badan dengan lebih cepat. Walaupun begitu, kandungan serat shirataki jauh lebih tinggi sehingga memperlambat kecepatan pengosongan lambung sehingga tetap memberikan sensasi kenyang.

Namun, perlu diingat juga bahwa kandungan protein, zat besi dan vitamin B yang jumlahnya lumayan pada makanan pokok ketika dikonsumsi dengan jumlah yang sesuai menjadi ikut rendah pada shirataki, padahal dengan adanya kandungan zat gizi tersebut (yang dominan ada pada lauk hewani) di makanan pokok, kecukupan asupan seharinya bisa lebih baik karena porsi konsumsi makanan pokok lebih banyak dibandingkan porsi konsumsi lauk-pauk.

Dari kelebihan dan kekurangan yang sudah dibahas, artinya boleh konsumsi shirataki namun sebaiknya tidak menjadikan shirataki sebagai makanan pokok utama tanpa adanya variasi bahan makanan sumber karbohidrat yang lain. Sesuai dengan prinsip gizi seimbang, kita perlu mengonsumsi bahan makanan yang beragam dan dalam jumlah yang seimbang. Dengan kata lain, shirataki perlu dikonsumsi dalam frekuensi dan jumlah yang cukup (moderate). Kecukupan zat gizi dapat dipastikan ketika seseorang sudah mengetahui kebutuhan kalori & zat gizi hariannya setelah konsultasi gizi dengan ahli gizi. Kamu dapat menggunakan Program Body Goals untuk berkonsultasi dengan ahli gizi Dietela.

Maka dari itu, bagi yang ingin mengonsumsi beras atau mi shirataki, berikut beberapa cara yang dapat dilakukan agar tetap seimbang asupan makan seharinya:

1. Tidak menjadikan beras atau mi shirataki sebagai satu-satunya sumber karbohidrat yang dikonsumsi

Shirataki bukanlah sumber sumber energi utama tubuh. Sementara, tubuh tetap memerlukan sumber energi walaupun sedang menjalani diet defisit kalori atau untuk menurunkan berat badan. Menjadikan shirataki sebagai satu-satunya makanan pokok pengganti sumber karbohidrat malah berpotensi meningkatkan konsumsi bahan makanan sumber lemak sebagai alternatif sumber energi

2. Susun jadwal atau meal plan untuk mengonsumsi beras atau mi shirataki bergantian dengan sumber karbohidrat lainnya

Variasikan konsumsi shirataki dengan bahan makanan sumber karbohidrat lainnya seperti nasi putih, nasi merah, mi kuning, ubi, singkong, jagung, oat, dan sebagainya. Misalnya, mengonsumsi beras atau mi shirataki 2 kali per minggu saja.

3. Konsumsi beras atau mi shirataki bersama dengan lauk, sayur, dan buah

Hal ini dilakukan untuk melengkapi zat gizi yang kurang dari beras atau mi shirataki. Misalnya, konsumsi mi shirataki bersama ikan  (sumber protein, vitamin B1, asam lemak tidak jenuh), bayam (sumber vitamin B2, B6, B9, zat besi), jamur (sumber vitamin B5), kacang polong (sumber vitamin B3), dan pisang (sumber kalium).1

4. Konsumsi beras atau mi shirataki dalam porsi cukup (moderate) dalam sekali makan

Kandungan serat yang tinggi dalam beras atau mi shirataki jika dikonsumsi berlebihan juga dapat menyebabkan efek merugikan. Serat meningkatkan rasa kenyang. Jika konsumsi serat berlebihan, maka seseorang tidak dapat mengonsumsi bahan makanan sumber zat gizi lainnya secara cukup. Konsumsi terlalu tinggi serat juga dapat menyebabkan rasa tidak nyaman pada perut, perut terasa bergas, dan diare. Pada kasus yang parah, kelebihan asupan serat dapat menyebabkan penyumbatan pada saluran pencernaan.2

Editor: Wahyu Kurnia Yusrin Putra, SKM, MKM

Referensi:

1.   Harvard T.H. Chan School of Public Health. B Vitamins. https://www.hsph.harvard.edu/nutritionsource/vitamins/vitamin-b/ (accessed 8 Feb 2022).

2.  Whitney E, Rolfes SR. Understanding nutrition. 15th ed. Cengage Learning: Boston, 2019.